Pelabuhan Sunda Kelapa dan Kenangan Masa Kecilku



Nenek moyangku seorang pelaut..

Lagu itu sering kita dengar saat anak-anak dan sampai sekarang masih suka dinyanyikan sama ponakan di rumah.

Laut dan samudera..
Dua kata tersebut menjadi satu bagian sejarah dalam kehidupan keluarga besarku dari almarhum Bapak.
Terlahir sebagai keturunan ana dara Bugis, sejak kecil aku sudah tak asing dengan namanya laut, samudera dan perahu.

Ingat banget waktu kelas satu sekolah dasar, Bapak selalu mengajak kedua saudara laki-laki aku ke pelabuhan Sunda Kelapa untuk mengajari mereka berenang. Nah kalau kalian belajar renangnya di kolam renang, tidak dengan keluargaku yang notebene nenek moyangku adalah pelaut. Akupun enggak pernah ketinggalan ikut bersama mereka untuk belajar berenang di laut. Eh tapi.. bukannya pinter berenang aku justru phobia sama air sejak sekarang hehe.. dan sampai sekarang enggak bisa berenang (berhentilah generasi pelaut pada diriku.. kwkwkkw)

Tapi jangan salah sangka dulu, saat aku kecil air laut di pelabuhan Sunda Kelapa tuh jernih banget enggak ada sampah, masih alami dan asri pokoknya masih jauh dari kata kotor dan kontaminasi sampah serta lain-lainnya. Pokoknya asyik banget saat itu, kalau kedua saudara laki-laki aku belajar berenang, aku jadi tukang jagain pakaian mereka dan terkadang ikutan nyebur dipinggiran cari kerang hijau (yang penting masih ada kegiatan khan .. hihi)

Nah kebetulan neh kemarin bertepatan dengan hari Maulid Nabi Muhammad, yang dirayakan sama seluruh umat muslim di dunia yaitu hari kelahiran sang Nabi Alaihisalam. Biasanya dalam keluarga Bapakku yang notebene semuanya adalah pelaut, ada perayaan khusus di keluarga kami yaitu makan-makan bersama di perahu (kapal) sebagai bentuk rasa syukur kami. Makanannya berupa nasi putih, berbagai macam ikan bakar, telur yang dihias dengan digambar warna-warni, ada perahu kertas yang dihias dengan berbagai macam rupa yang nantinya dihanyutkan ke laut, tapi kalau makanannya mah yah tetep dimakan ramai-ramai (tapi sayang saat ini tradisi itu sudah menghilang) karena perubahan generasi mungkin. Tak ada lagi acara tersebut di pelabuhan seperti waktu aku masih kecil dulu.

Sewaktu aku berkesempatan main ke sana karena ada salah satu Om aku masih berprofesi sebagai pelaut, aku menyempatkan diri bermain dan mengajak teman untuk melihat seperti apa rasanya naik kapal bermuatan bahan-bahan baku yang akan dibawa ke luar kota.

Dulu, kapal (perahu) ini dibuat bergotong royong bersama sanak famili dan serunya kalau sudah jadi lalu diturunkan ke laut ada acara khusus makan-makan juga dan ramai sekali, karena semua keluarga handa taulan berdatangan saling membantu. Waktu pembuatannya pun memakan waktu cukup lama ada yang setahun atau bahkan lebih karena dibuat dengan secara manual, dipahat sendiri, dipelamir, digergaji, pokoknya semua peralatannya tuh masih alami tanpa menggunakan mesin. Aku kalau ingat jaman itu suka salut dan masih kebayang sampai sekarang. Oh ya aku masih punya satu ornamen perahu berukuran mini yang dibuat oleh Om sebagai hadiah dan masih rapi di rumah.

Pengalaman yang paling mengharukan saat itu adalah ketika mendengar kabar Almarhum Bapak lama enggak kembali pulang dan setelah sampai di rumah cerita kalau kapalnya tenggelam dan dia sempat hanyut di laut lepas beruntung semua awak kapal selamat lalu tetap stay di Palembang sampai waktu yang memungkinkan untuk kembali ke Jakarta. Dan kisah serupa banyak sekali juga dialami oleh kerabat dekat dan beberapa teman seperjuangan Bapak. Jadi, jiwa bersabar dan kuat serta tanggung jawab adalah salah satu yang harus dimiliki oleh seorang pelaut. Selepas itu mereka enggak ada yang trauma justru makin semangat untuk berjuang lagi menaklukkan samudera.

Sejak tahun 1998 pasca kerusuhan besar-besaran, pelabuhan Sunda Kelapa mengalami perubahan yang sangat drastis, semua pemilik perusahaan dan kapal (perahu) gulung tikar, tak terkecuali keluarga besar Bapakku di mana semua keluarga berprofesi sebagai pelaut.

Tidak ada lagi aktifitas kegiatan apapun, karena semua pengiriman kayu, bahan makanan dan lain-lain dari pelabuhan Sunda Kelapa berhenti. Aku pun turut mengalami dan merasakannya, yah itu enggak lanjut kuliah dulu sampai beberapa tahun. Sejak kejadian itu kami para penerus generasi akhirnya berpikir untuk merubah hidup dengan tidak lagi mewarisi profesi ini. Satu persatu kapal (perahu) dijual tapi tidak ada yang mau membeli. Lama kelamaan hancur dan tenggelam karena tidak beroperasi lagi. Bahan bakarpun melonjak tinggi, jadi tidak bisa menutupi kebutuhan dan menggaji para awak kapal. Alhasil tumbang.

Butuh waktu lama untuk kembali memperbaiki keadaan dan hanya beberapa generasi saja yang bisa bertahan selebihnya, banyak sekali yang berubah. Beberapa kenalan Bapak dan sanak famili jatuh sakit, perlahan harta habis karena memang mata pencaharian kami adalah dari melaut.

Tahun 2004-an bisnis ini mulai ada titik terang akan tetapi hanya hitungan jari yang mau kembali dan bertahan untuk mengoperasikan kapal (perahu) tersebut. Dan itu pun butuh dana yang cukup besar karena semua sudah berubah. Gaji awak kapal naik drastis, biaya operasional lebih tinggi belum lagi adanya surat-surat perijinan dan segala macam yang biayanya lebih tinggi dari sebelumnya bikin sesak napas. Kalau dulu sebulan bisa empat kali perjalanan keluar kota setelahnya hanya bisa satu kali perjalanan dan pada akhirnya satu persatu menyerah karena pangsa pasar pun banyak yang sudah dikuasai oleh beberapa perusahaan besar sehingga yang dulu pemilik perahu (kapal) individu harus bersaing dengan mereka dan pada akhirnya pulang ke rumah.

Begitulah sekelumit kisah tentang para pelaut di pelabuhan Sunda Kelapa kala itu.

Saat aku bersama seorang teman yang aku ajak untuk bermain ke tempat ini, ada rasa haru dan rindu. Bau aroma air laut, udara dan setiap inci tempat ini membuatku mengenang masa lalu, betapa saat itu kami pernah sangat bahagia menjadi bagian dari tempat ini.

Pelabuhan Sunda Kelapa bukan hanya sebagai tempat bertahannya perjuangan para pahlawan untuk menjaga keamanan Batavia kala itu akan tetapi selain itu sebagai kenangan untuk kami yang seharusya sebagai penerus generasi pelaut nenek moyang kami.

Dan sejak saat itu aku dan keluargaku merubah pikiran untuk belajar dan menjadi generasi baru dalam profesi lainnya selain menjadi pelaut.

Meski masih ada beberapa keluarga yang masih bertahan untuk tetap meneruskan generasi nenek moyangnya akan tetapi butuh usaha dan kerja keras di jaman seperti ini.

So.. aku bangga menjadi bagian keluarga sang pelaut.
Semoga yang masih tersisa bisa terus bertahan dan menjadi bagian perekonomian bangsa meski harus dengan extra kerja keras dalam era persaingan besar saat ini.


Penampakan Geladak Kapal,
 dibawahnya berisi angkutan barang,
bisa kayu atau bahan makanan pokok dll
yang akan dibawa ke luar kota antara Kalimantan dan Sumatera

Om aku yang masih bertahan meneruskan
generasi nenek moyang sebagai pelaut sejati hingga sekarang
Dibelakang aku dulunya penuh dengan rumah penduduk
sekarang bersih sejak kejadian beberapa tahun yang lalu
Proyek Pasar Ikan

Dulu Almarhum Bapak yang pegang kendali ini
sering banget dia berbagi cerita bagaimana caranya
menjadi nahkoda yang baik dan dipercaya sama semua awak kapal
Bapak hanya lulusan SR dan belajar secara otodidak
karena daya ingatnya yang luar biasa dia hanya membaca
dari buku panduan tentang titik ordinat dan selama
puluhan tahun alhamdulillah.

Welfie dulu lah yah.. hehe







Wassalam,


Posting Komentar

49 Komentar

  1. salut banget sama perjuangan dari para pelaut kita. cerita ini bukan hanya sekedar kenangan ya mba tapi sebuah sejarah dan saksi bisu dari adanya kehidupan dari para pelaut terdahulu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya bener banget. Sejarah yang akan selalu jadi kenangan

      Hapus
  2. Waah kak ratna ternyata keluarga pelaut.. sedih baca cerita pas tragedi 98.. salut sama omnya kak ratna yang masih jadi pelaut sampai sekaraang..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya.. 98 itu sesuatu buat aku, enggak akan terlupakan karena merubah kehidupan aku dan keluarga besarku. Ikut jadi korban perubahan demokrasi. Tapi bersyukur karena kejadian itu jadi punya pikiran lain utk berani banting setir tidak mengikuti jejak nenek moyang 😊

      Om aku memilih bertahan karena jiwanya masih di sana (samudera) dan enggak ada pilihan karena pengalamannya yah hanya pelaut dari kecil.

      Hapus
  3. Keren banget kak, aku yang notabennya bukan kelurga dari pelaut masih awam banget. Dan kadang suka bertanya-tanya gimana kehidupan pelaut yang berlayar berbulan-bulan.
    Aku salut banget sama keluarga kaka yang fighting ketika era 98.
    aku menikmati banget tulisannya kak, karena hal baru buat aku.
    Thank You for sharing.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama
      Jadi paham yah kehidupan pelaut sesungguhnya 😊

      Hapus
  4. Pelabuhan Sunda Kelapa mempunyai kesan banget ya untuk kakak dan keluarga. Selain di om, semoga ada generasi berikutnya di keluarga ka Ratna yang meneruskan tradisi 'nenek moyangku orang perahu'

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya
      kalau di keluarga inti almarhum Bapak sudah enggak ada Kak, hanya tinggal Om saja dan anaknya pun sudah enggak ada yang mau meneruskan jadi pelaut.

      Hapus
  5. Hi.. im so sorry for what happened to you and your family. Zaman berubah dan kita harus terus bergerak.

    Bdw.. semoga cepat bisa berenang ya hehe..

    -femz

    BalasHapus
  6. Akhirnya bisa ninggalin komen juga. Kemarin belum bisa :D

    Kalau di pelabuhan rakyat kayak sunda kelapa biasanya mudah ditemui anak-anak yang melompat dari atas kapal tanpa rasa takut sama sekali.

    Oyaa, aku salut sama orang-orang bugis yang bisa menyelam tanpa menggunakan alat selam. Itu sangat keren dan luar biasa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hooh.. tapi aku salah satu dari orang Bugis yang enggak bisa nyelam hehe

      Hapus
  7. Ah kakak, ceritanya bagus. Laut dan samudera pernah menjadi bagian dari hidup kak Ratna, dan kini kak Ratna ternyata ga bisa berenang. Hahaha. Btw, emang ya kalo jadi keluarga pelaut harus kuat mental.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya aku enggak bisa berenang yang lain perempuan atau laki-laki jago nyelam.

      Selain kuat mental harus tahan banting hehe dan sabar karena harus jauh sama keluarga

      Hapus
  8. wah keluarga kakak adalah pelaut.. keren..
    biasanya aku denger keluarga pelaut dari film2 atau drama korea saja.
    sehat terus ya kak untuk Om nya yang masih bertahan meneruskan pekerjaan keluarga. Semoga nanti tetap ada penerusnya ya kak ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin makasih doanya.
      Kayaknya penerusnya tinggal Om aku aja udah enggak ada yang minat karena kondisi berubah dan enggak bisa bertahan juga bersaing sama perusahaan besar

      Hapus
  9. Aku selama tinggal di Jakarta belum pernah main ke Sunda Kelapa, padahal udah sering banget baca-baca ulasannya. Aku baru tahu kalau dulu pemilik kapal di sunda kelapa kebanyakan pribadi gitu, sayang ya sekarang udah kalah sama perusahaan besar

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hayuk maen.. tapi sekarang Om aku sandar di Surabaya belum bisa masuk Sunda Kelapa lagi entah kenapa.. sekarang rada-rada susah enggak kayak dulu

      Hapus
  10. Jadi membayangkan masa sebelum krisis moneter. Serunya masa kecil Mba Ratna hidup di antara syahdunya angin laut dan tiang temali kapal. Sedih aku baca cerita kapalnya ga bisa dipakai, dijual ga laku dan akhirnya dibiarkan karam.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Asyik banget Kak Yun..
      dulu rumahku di Kampung Luar Batang tinggal lari aja dari rumah ke Sunda Kelapa. Pulang sekolah ikutan maen sama sodara cowok main bola terus pada nyelam nyari ketang hijau atau main seru-seruan lompat dari perahu, manjat tali pokoknya seru banget.

      Suka di photo sama Turis sueneng banget. Pernah lima tahun kemudian turisnya balik ke Jakarta bawa photo-photo kami. Dia nyari-nyari lagi ketemu kita uda pada tinggi hehe..
      jaman itu kota tua belum seramai sekarang dan kebanyakan yang datang turis dari English.

      Hapus
  11. woow aku baru ngeh kalau keturunan Suku Bugis (aka pelaut) nggak bisa renang. masih nggak percaya aja hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaaa.. karena aku phobia air.. kalo enggak mah uda nyelam tanpa peralatan udah kayak anak seribu pulau hehe

      Hapus
  12. Ditunggu postingan tentang gimana perjuangan Om kamu yang masih bisa survive dengan bisnis ini..
    Gmn suka dukanya, dll..

    Btw, nice article :)

    BalasHapus
  13. Wow ada budaya makan-makan di laut, asik banget. Keren ya Pelabuhan Sunda Kelapa yang dulu, yang tanpa sampah, yang enak buat berenang

    BalasHapus
  14. Berkesan banget yah mbak. Seneng bisa jadi bagian dari keluarga pelaut ya. Menikmati aroma laut, semilir angin...pasti menyenangkan sekali masa kecilnya mbak Ratna.
    Keluarga yang hebat. Mampu meneruskan warisan leluhur menjadi seorang pelaut, meski jaman berubah dan daya saing semakin bertambah. Salam buat om nya yah, mbak. Semoga selalu diberikan kelancaran rezeki dan keselamatan dalam melaut...

    BalasHapus
  15. Almarhum ayahmu hebat sekali, Kak! Selain meneruskan tradisi keluarga, beliau juga belajar secara otodidak. Begitu juga dengan Om ya. Salut!

    Suka banget baca ini, btw. Ternyata nenek moyangku seorang pelaut itu bukan hanya nyanyian.

    BalasHapus
  16. salut dan keren banget sih kak...

    pelaut itu tangguh... mampu melawan badai demi mencari nafkah

    BalasHapus
  17. Lebih terharu sama kisah flashback keluarganya Mbak Ratna. Dan pelabuhan sunda kelapa jauh berubah sekarang.

    Jalesveva Jayamahe!

    BalasHapus
  18. Lebih terharu sama kisah flashback keluarganya Mbak Ratna. Dan pelabuhan sunda kelapa jauh berubah sekarang.

    Jalesveva Jayamahe!

    (Deny Oey)

    BalasHapus
  19. Wahh mba Ratna ada keturunan keluarga pelaur ternyata, dulu bapak aku jga sempet kerja di laut. Walau gak banyak cerita tapi dari karakter bapak, keliatan banget kerasnya hidup di laut.

    BalasHapus
  20. Perjuangan pelaut sunda kelapa ternyata sempat mengalami pasang surut ya. Btw, di kampung saya pun, ada acara "mapanre tasi" setiap tahun.

    BalasHapus
  21. Rasa rasanya pelabuhan sunda kelapa dekat dengan rumahku deh, tapi belum pernah kesana hahaha, gimana rasanya yah berhari-hari dilaut, pagi siang sore ketemunya air lagi air lagi

    BalasHapus
  22. Waahh keluarga kakak ternyata ada keturunan pelaut. Kerenn kakk ngebayangin berminggu-minggu sampe berbulan-bulan ada di lautan lepas

    BalasHapus
  23. Wah kak Ratna ternyata dari keluarga pelaut. Saya selalu kagum dengan pelaut, terinspirasi dari One Piece, membayangkan naik kapal laut besar di lautan lepas berbulan-bulan.

    Pasti kalau dulu alm Ayah selalu punya cerita setiap pulang melaut ya kak.

    BalasHapus
  24. paragraf pertama aku bacanya smabil nyanyi loh kak hahhaa..almarhum bapakku juga anak laut kak, tapi hanya untuk mancing aja di laut, bangga dan salut sm kelurga kamu kak serta para pelaut lainnya. duh jd pengen ke pelabuhan sunda kelapa juga..

    BalasHapus
  25. Mantab banget yang punya nenek moyang langsung ditasanya seorang pelaut. Di buku=buku sejarah memang orang bugis dikenal sebagai pelaut ulung. Kalau kepesisir masih nemuin keturunan bugis

    BalasHapus
  26. Mantab banget yang punya nenek moyang langsung ditasanya seorang pelaut. Di buku=buku sejarah memang orang bugis dikenal sebagai pelaut ulung. Kalau kepesisir masih nemuin keturunan bugis

    BalasHapus
  27. Sudah 20 tahunan tinggal di Jakarta, belum pernah dong sekalipun ke Palabuhan Sunda Kelapa.

    BalasHapus
  28. wah ternyata kak ida keluarganya byk yg pelaut.
    aku tgl di jkt ud lama sama sekali belum pernah masuk ke pelabuhan sunda kelapa...

    BalasHapus
  29. Tiap ke pelabuhan Sunda Kelapa selalu berasa suasana yg jauh berbeda dari Jakarta ya ka, kapal2 dan nelayannya terlihat gagah banget gitu. Salut sama om nya yg teguh sama passion sebagai pelaut

    BalasHapus
  30. Wah kalau ini mah beneran keturunan pelaut hoho.

    Sedih kali baca cerita kau, kak. Aku dulu baca buku Raden Mandasia si Penciri Daging Sapi yang ada cerita tentang pelautnya suka ga kebayang, gimana para pelaut itu bisa bertahan berbulan-bulan di laut dan jauh dari keluarga.


    Salut kak...

    BalasHapus
  31. Wah Kak Ratna, ada satu lagi tantangan kemampuan keluarga pelaut selain berenang.. yaitu kemampuan meniti bambu/balok. Kalau sedang berkunjung ke pelabuhan Sunda Kelapa aku selalu minta bapak-bapak disana untuk foto diatas titian.. hehe 😁

    BalasHapus
  32. Pelabuhan Sunda Kelapa yang selalu bikin adem ituuu, hahaha

    Kenangan Masa Kecilku dimana yaaa, tetiba merenung

    BalasHapus
  33. Kak, aku suka baca ceritanya. Salut dengan perjuangan para pelaut.
    Semoga sebagian keluarga yang masih melanjutkan profesi ini diberi kekuatan dan kemudahan. Pin bagi generasi yang sudah berganti profesi.
    Oh ya, pasti seneng bisa mengenang kembali masa kecil di Pelabuhan Sunda Kelapa ya

    BalasHapus
  34. Jadi dulu bersih ya pelabuhan Sunda kelapa, duhhh sayang banget yakk karena ulah manusia kebersihan saat ini kurang terjaga.

    BalasHapus
  35. Menarik banget Mbak punya keluarga pelaut dengan segala suka dukanya, apalagi kenangannya ada di Pelabuhan Sunda Kelapa..aku mau ke sana aja belum kesampaian, yang katanya indah heheeh

    BalasHapus
  36. Sampai sekarang ada keinginan saya yang belum kesampaian yaitu ke pelabuhan lalu naik perahu nelayan untuk mencari ikan.

    BalasHapus
  37. Pelabuhan sunda kelapa ini kalau kita berlama-lama di sana dan membayangkan apa yg terjadi dari ratusan tahun di sana sampai skrg... Duh epic banget...

    BalasHapus
  38. Waktu kecil sering banget di bawa opung ke laut. Naik perahu dan berenang. Indah sekali utk dikenang.

    BalasHapus

Jangan lupa komentarnya Kakak. Terima kasih sudah memberikan komentar baiknya.